Minggu (13 Juli 2025 ) Mentari baru saja mengintip malu-malu dari balik pucuk pepohonan, ketika riuh obrolan dan derap langkah kaki mulai menghidupkan halaman Mushola Nurul iman di Dukuh Ngawenan, Desa Sambongrejo, Kecamatan Sambong, Kabupaten Blora. Suara canda anak-anak, suara alat pertukangan, dan tawa hangat warga bergema bersama niat baik yang mengalir sejak fajar. Di tengah suasana itu, hadir sekelompok mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) dari Institut Agama Islam Khozinatul Ulum (IAIKU) Blora, menyatu tanpa jarak dengan denyut kehidupan desa.
Bukan sekadar hadir sebagai tamu atau pengamat, para mahasiswa KKN Kelompok 6 benar-benar menyingsingkan lengan baju. Tangan-tangan mereka kotor oleh adukan semen, peluh membasahi dahi yang terpapar terik matahari, namun tak satu pun keluhan terdengar. Mereka mengaduk, memplester, mengebor, dan memikul menyatu dalam irama gotong royong yang tulus. Apa yang dilakukan bukanlah seremoni, melainkan ekspresi nyata dari sebuah pengabdian.
Mereka turut memperbaiki berbagai bagian Mushola Nurul iman: memasang pralon saluran air wudhu, membuat selokan, memplester dinding, mengganti plafon, bahkan hingga memasang tandon air. Dalam setiap tugas, mereka berdampingan dengan para bapak warga yang telah lama menjadikan mushola sebagai bagian dari denyut harian kehidupan. Tak ada sekat antara akademisi dan masyarakat. Tak ada batas antara intelektual dan rakyat.
“Mahasiswa ini bukan hanya membawa ilmu dari kampus, tapi juga membawa semangat. Mereka tak canggung bekerja. Kami merasa mereka adalah bagian dari kami,” ungkap Pak Sumiran, seorang warga yang sejak pagi turut bekerja, matanya berbinar penuh rasa syukur.
Kebersamaan ini bukan sekadar aksi sosial. Ia menjadi jembatan antara dunia teori dan dunia nyata. Abdul Nggoni, Seksi Bidang Keagamaan dari KKN Kelompok 6, dengan suara bergetar mengatakan, “Kegiatan ini sangat bagus, karena bisa mempererat hubungan mahasiswa KKN dan masyarakat setempat. Semoga kegiatan seperti ini tidak berhenti hari ini, tapi bisa terus berlanjut.”
Dengan mata yang berkaca-kaca, ia menambahkan, “Kami belajar banyak hari ini. Tentang makna kebersamaan, keikhlasan, dan bahwa ilmu itu sejatinya harus hadir untuk melayani, bukan untuk meninggi.”
Mushola Nurul Iman hari itu bukan hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga menjadi ruang perjumpaan antara cinta, tenaga, dan harapan. Menjadi saksi bisu bahwa pengabdian bukan sekadar program kerja atau laporan akhir. Ia hidup, berdenyut di pelipis, dan mengalir dalam keringat serta senyum yang tulus.
Gotong royong ini tak hanya membenahi fisik mushola, namun juga meruntuhkan tembok-tembok tak kasat mata yang kerap memisahkan kaum terpelajar dan masyarakat akar rumput. Di tengah debu dan adukan semen, tercipta pelukan hangat antara gagasan dan kerja nyata. Antara ilmu yang tak lagi hanya dibaca, dan amal yang dirasakan bersama.
Hari itu, di bawah langit Ngawenan, mahasiswa dan warga menulis kisah tentang cinta yang diwujudkan dalam kerja. Tentang semangat yang tak tinggal di ruang kuliah, tapi turun ke jalan, menyapa manusia, menyentuh nurani, dan menjadi lentera kecil di rumah ibadah yang penuh berkah itu.