Dalam kurun waktu tujuh bulan terakhir, sebanyak 37 kejadian kebakaran melanda berbagai wilayah di Kabupaten Blora. Dari rumah tinggal hingga kandang ternak warga, semua jadi korban ganasnya si jago merah. Rerata penyebabnya adalah korsleting listrik, diperparah dengan kondisi rumah warga yang mayoritas masih berbahan kayu—mudah terbakar dan menyulut api dalam sekejap.
Kabid Pemadam Kebakaran (Damkar) Satpol PP Blora, Hariyanto Purnomo, menyampaikan bahwa sepanjang Januari hingga Juli 2025, timnya telah mencatat puluhan peristiwa kebakaran.
“Mayoritas disebabkan oleh korsleting listrik. Ada juga yang karena human error, tapi kebanyakan karena instalasi listrik yang bermasalah,” ungkap Hariyanto, Kamis (25/7).
Kondisi rumah warga yang masih banyak terbuat dari kayu membuat penyebaran api berlangsung cepat dan sulit dikendalikan. “Karena rumahnya dari kayu, api cepat menyambar. Ini yang memperparah,” tambahnya.
Ironisnya, di tengah meningkatnya angka kebakaran, para petugas damkar harus berjibaku dengan berbagai keterbatasan. Armada yang sudah berusia lanjut, selang bocor yang sering kali menghambat aliran air, hingga medan jalan yang sulit dijangkau membuat proses pemadaman kerap tidak maksimal.
“Peremajaan armada dan sarpras sudah sangat mendesak. Termasuk selang air yang sudah bocor-bocor di sambungan,” ujarnya prihatin.
Hariyanto menjelaskan bahwa terdapat beberapa pos damkar yang menjadi titik penempatan armada dan peralatan. Namun, daerah yang paling sering dilanda kebakaran berada di bawah cakupan Pos Ngawen, yang meliputi Kecamatan Kunduran, Japah, dan Banjarejo.
“Wilayah Pos Ngawen paling banyak kejadian. Sering juga aksesnya sulit dijangkau,” katanya.
Masalah lain muncul dari sisi anggaran. Hingga pertengahan tahun ini, tidak ada alokasi dana dari APBD untuk mendukung peremajaan peralatan damkar. Akibatnya, para petugas hanya bisa memaksimalkan alat yang sudah ada, meskipun kondisinya jauh dari ideal.
“Tahun ini belum ada anggaran yang masuk. Kami hanya bisa bekerja semampunya dengan alat yang ada,” ucapnya lirih.
Sementara itu, di Pos Randublatung, krisis personel masih menjadi kendala serius. Dengan hanya satu unit mobil pemadam dan satu mobil tangki, pos ini disebut belum memadai untuk menangani kejadian kebakaran di wilayah selatan Blora.
“Pos Randublatung masih kekurangan personel. Idealnya, setiap pos memiliki tim lengkap dengan peralatan yang prima,” jelasnya.
Sebagai solusi jangka pendek, Hariyanto mengusulkan agar tiap desa atau kecamatan membentuk relawan damkar. Mereka bisa menjadi garda terdepan dalam penanganan awal sebelum bantuan utama datang.
“Relawan damkar desa bisa sangat membantu. Mereka bisa jadi penyelamat pertama saat api mulai menyala,” pungkasnya.
Di tengah keterbatasan dan risiko tinggi, para petugas damkar di Blora tetap berdiri di garis depan. Dengan alat yang mulai uzur dan tenaga yang terbatas, mereka terus melawan amukan api demi menyelamatkan rumah-rumah kayu dan harapan warga. Kini, semua mata tertuju pada komitmen pemerintah daerah untuk hadir—bukan hanya setelah asap hilang, tapi sebelum api menyala.