Tahun 2020 dan 2021 akan selalu menjadi lembar hitam dalam sejarah umat manusia. Dunia seolah berhenti berdetak saat virus corona (Covid-19) menyebar dengan cepat, meluluhlantakkan tatanan kehidupan, dan merenggut jutaan nyawa. Indonesia pun tidak luput dari dampaknya. Rumah-rumah sakit penuh sesak, jenazah dibungkus plastik, sekolah-sekolah ditutup, dan jutaan orang kehilangan pekerjaan. Namun di balik kelamnya dua tahun itu, kita hari ini di tahun 2025 tidak boleh hanya mengenangnya sebagai tragedi, melainkan juga sebagai pembelajaran yang mahal.
Pandemi telah mengajarkan kepada kita betapa rentannya peradaban modern. Dunia yang serba cepat dan saling terhubung ternyata sangat mudah lumpuh hanya karena satu makhluk mikroskopis. Inilah pelajaran pertama: kita harus selalu siap dalam hal kesehatan dan kebencanaan. Tahun 2025 ini harus menjadi momentum untuk memperkuat sistem ketahanan kesehatan nasional bukan hanya dalam hal infrastruktur, tetapi juga dalam edukasi publik dan kesadaran hidup sehat.
Kedua, pandemi menunjukkan bahwa solidaritas adalah kunci bertahan. Di tengah pembatasan sosial, kita melihat masyarakat saling membantu: dari gerakan dapur umum, relawan pemulasaran jenazah, hingga pengumpulan donasi daring. Dari sini kita belajar bahwa nilai gotong royong bukan sekadar slogan, melainkan pilar kehidupan. Jangan sampai pelajaran ini memudar seiring berlalunya pandemi. Di tahun 2025, kita seharusnya memperkuat semangat kolaborasi dalam menghadapi berbagai persoalan sosial, bukan justru saling menjauhkan karena perbedaan.
Ketiga, pandemi adalah pukulan keras bagi dunia pendidikan. Saat sekolah-sekolah ditutup, kita baru sadar bahwa tidak semua anak punya akses yang sama terhadap teknologi dan internet. Maka, jika di tahun 2025 ini kita masih melihat kesenjangan pendidikan digital, itu artinya kita belum benar-benar belajar dari masa lalu. Digitalisasi pendidikan harus disertai dengan pemerataan akses dan peningkatan kualitas guru. Pendidikan adalah fondasi masa depan bangsa, dan pandemi telah mengingatkan kita agar tidak menganggapnya remeh.
Keempat, pandemi membuat kita lebih sadar akan pentingnya kesehatan mental. Isolasi, kehilangan, dan kecemasan massal memunculkan gelombang gangguan psikologis yang dulu sering diabaikan. Kini, saat dunia mulai pulih, kesehatan jiwa harus diarusutamakan dalam kebijakan publik, bukan hanya dianggap sebagai urusan pribadi. Tahun 2025 adalah waktu yang tepat untuk menjadikan layanan konseling, ruang ekspresi, dan pendampingan psikososial sebagai bagian penting dari pembangunan manusia.
Akhirnya, refleksi ini bukan untuk membuka luka, melainkan agar luka itu tidak sia-sia. Dunia boleh pulih, masker mungkin sudah jarang dikenakan, dan vaksinasi menjadi catatan sejarah. Namun semangat waspada, peduli, dan saling jaga yang tumbuh di tengah pandemi harus tetap hidup. Sebab bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang kuat secara ekonomi dan teknologi, melainkan yang mampu belajar dari krisis dan menjadikannya titik tolak untuk tumbuh lebih bijak dan tangguh.
Mari kita jadikan pandemi sebagai guru yang tak bersuara, tapi meninggalkan pelajaran yang sangat nyaring.