Sebagai bagian dari masyarakat tradisional, yang lahir dan besar di tengah-tengah kehidupan orang kampung yang sederhana dan bersahaja, sulit rasanya mengabaikan dinamika mereka dalam sisi kehidupan sosial: yaitu perjuangan dan tantangan untuk keluar dari lubang kemiskinan yang akut. Wajah kampung yang seringkali orang bayangkan adalah entitas masyarakat yang menggantungkan hidupnya menjadi petani, buruh, atau yang kini menjadi garis telikungan untuk menyambung kebutuhan hidup adalah bekerja sebagai perantau di kota orang.
Kabupaten Blora, dengan lebih dari 60% masyarakatnya menyambung hidupnya sebagai petani memperlihatkan satu kenyataan hidup yang problematik. Petani yang dianggap pahlawan ketahanan pangan nasional, kini nasibnya hampir tumbang dikoyak-koyak ketidakberdayaannya sendiri. Dengan essay ini saya telah menyaksikan sendiri bagaimana kekalahan petani dalam menghadapi kesialan yang terus muncul bertubi-tubi. Mewakili aktivis mahasiswa saya merasa perlu untuk menulis apa yang sebenarnya terjadi di bawah, terjun langsung ke jantung masyarakat dan mendengar mereka bercerita dan mengeluh dari sumber yang lebih dekat. Bagi saya ini menjadi penting terutama agar bagaimana kita bersama-sama mencari solusi menekan dan mengentaskan kemiskinan di Kabupaten Blora.
Sekitar paroh akhir bulan Agustus, tepatnya tanggal 23 sampai 24, belum terlalu lama sebenarnya, saya dari kelompok mahasiswa yang tergabung dalam organisasi PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) mengadakan Sekolah Analisis Sosial dengan topik: Rekontruksi Petani Ideal dalam Genggaman Pemuda Milenial. Sentrum dari topik itu muncul ketika saya dan teman-teman sesama mahasiswa melakukan kajian yang mendalam mengenai geliat pemuda-pemuda zaman sekarang dalam menanggapi letupan-letupan yang dinamakan Generasi Indonesia Emas 2045. Karena banyak dari teman anggota adalah orang daerah dan kebetulan juga berkuliah di kampus daerah, hampir dari seluruhnya mengatakan jika keluarga mereka mayoritas berprofesi menjadi petani tradisional, yang menggarap rata-rata 1 sampai 3 hektare sawah yang tak sepenuhnya subur dan berhasil itu. Lalu saya melempar pertanyaan: bapakmu seorang petani yang miskin, tapi sepanjang hidupnya selalu bekerja keras dan pantang menyerah, sementara kita sedang berada di ambang transisi menuju generasi yang dididik untuk menjadi pengendali, bukan lagi menjadi seperti bapak atau tetangga-tetangga di kampung yang bekerja sebagai petani dan buruh. Namun bukankah sektor pertanian itu penting untuk ketahanan pangan nasional? Sementara kita dari kecil sampai dewasa tidak dididik untuk meneruskan pekerjaan petani yang sudah diwariskan turun-menurun. Pun bagi saya dan teman-teman aktivis, petani sudah bukan menjadi pekerjaan yang ideal. Ideal bagi kami saya pikir juga mewakili ideal menurut asumsi teman-teman lainnya. Pertanyaan yang menjadi benang merah saya dan teman-teman adalah: siapa yang meneruskan perjuangan keluarga kita—orang-orang kampung yang sederhana itu—ketika mereka sudah tua, ketika sudah tak memiliki tenaga untuk mencangkul sawah dan menggarap lahan? Sementara kemajuan zaman dan teknologi sama sekali belum bisa menggantikan tenaga manusia di sektor agraria. Bagaimana pun sebelum menuju Indonesia Emas 2045, akan ada yang namanya regenerasi sumber daya manusia di bidang pertanian. Kemudian yang menjadi pelecut adalah: mana mungkin kita mau mengganti, sementara dari kecil sampai dewasa, banyak dari teman satu angkatan tidak dididik menjadi seorang petani.
Berangkat dari kajian itulah saya kemudian membuat kegiatan dengan melempar isu yang kami pandang strategis, yaitu Rekontruksi Petani Ideal dalam Genggaman Pemuda Milenial. Asumsi yang saya berikan adalah: apa yang selama ini digembar-gemborkan dengan istilah Indonesia Emas 2045 ternyata membawa dinamika yang serius. Bertambahnya jumlah penduduk dan kondisi agraria di Indonesia dengan ancaman perubahan iklim, kelangkaan pupuk, deforestasi hutan produktif dan lahan pertanian membawa masalah serius untuk jaminan ketahanan pangan. Sementara bagi Gen Z dan Milenial, menjadi petani sudah bukan menjadi role model atau sebagai contoh pekerjaan yang ideal. Ini merupakan masalah serius yang sering diabaikan dan jarang disentuh. Maka atas beragam dinamika itulah saya dan teman-teman menggelar kegiatan sekolah Analisis Sosial yang bertempat di Balai Desa Klopoduwur, Kec. Banjarejo, Kab. Blora.
Kegiatan yang selesai dengan tempo dua hari ini, mula-mula diisi oleh serangkaian materi yang saya bagi dalam tiga tahapan. Tahapan pertama adalah pengenalan mengenai Analisis Sosial: untuk itu saya memilih lokasi Karangpace, Desa Klopoduwur, yang selama ini dikenal sebagai permukiman masyarakat adat Samin untuk menjadi titik reportase dan observasi. Rata-rata penduduk Karangpace bekerja sebagai petani yang sudah digariskan secara turun-menurun, dan seluruh masyarakatnya juga dikenal sangat menghargai ekosistem lingkungan dan hidup berdampingan dengan flora dan fauna. Pada tahapan kedua saya dan teman-teman panitia mengundang Dinas Pangan, Pertanian, Peternakan dan Perikanan (DP4) Kabupaten Blora dan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Blora untuk ambil bagian memberi materi-materi tentang potensi pertanian dan sumber daya yang ada di Blora, dan lalu apa peran pemuda untuk menjadi bagian dari penjaga ekosistem lingkungan. Kemudian tahapan yang ketiga dibuka dengan segmen benturan dan dinamika yang sebenarnya dialami para petani di Blora, sehingga menyebabkan kemiskinan masih menjadi persoalan yang terus melembang selama bertahun-tahun. Sekolah ini diikuti 22 mahasiswa yang tersebar dari Blora, Rembang dan Pati. Semuanya dari organisasi PMII dan memiliki tujuan yang sama: yaitu observasi ke satu titik wilayah tertentu dan menganalisa keadaan ekonomi masyarakat lewat pendapatan dan pengeluaran petani-petani tradisional yang umumnya masih menjadi basis masyarakat terbesar di Blora. Selanjutnya Karangpace kami pilih menjadi lokasi penelitian.
Pada tanggal 24 Agustus, setelah serangkaian materi selesai diterima oleh para peserta, kini tiba saatnya untuk melakukan analisis sosial. Berbekal alat tulis dan keberanian, dan tentu setelah meminta izin kepada sesepuh Karangpace, kami mendatangi rumah-rumah penduduk untuk melakukan wawancara. Ternyata kebanyakan dari rumah-rumah penduduk itu kosong tanpa ditempati suami atau anaknya yang masih lajang, oleh karena tidak bisa menggantungkan hasil panen yang tak seberapa dan tidak melulu menghasilkan untung itu, banyak dari kepala keluarga kemudian memutuskan pergi ke luar kota untuk merantau, sementara istri atau anak-anak yang tersisa mendapat bagian mengurus ternak yang ada di kandang belakang dan sesekali mengurus sawah dan ladang dengan hasil yang tak seberapa itu. Peserta dibagi menjadi empat kelompok, masing-masing berjumlah lima anggota dan ada delapan rumah yang kami datangi.
Terpisah, menurut data yang kami dapat dari Dinas DP4 Kab. Blora, rata-rata pengeluaran setiap kepala keluarga di Blora mencapai angka 3,4 juta setiap bulannya. Itu berarti dalam setiap harinya masing-masing kepala keluarga mengeluarkan anggaran 100 ribu rupiah untuk menyambung hidup. Dengan angka mayoritas penduduk sebagai petani yang sangatlah besar, dengan presentase yang menyentuh angka 60%, sedangkan jumlah lahan produktif yang bisa digarap hanya sekitar 40% dari total keseluruhan luas wilayah di Kabupaten Blora, ini seolah-olah menjadi sebuah anomali yang sulit dipecahkan. Luas hutan di Blora adalah yang paling besar di Jawa Tengah, disusul kemudian Kabupaten Grobogan. Total tanah produktif milik Perhutani di Kabupaten Blora mencakup sekitar 60% lahan dan petak dari total keseluruhan wilayah yang tercantum. Sementara kita tahu petak-petak tanah yang dikuasai Perhutani tidak sepenuhnya bisa digarap oleh para petani. Mereka memang memiliki izin hak pakai, namun jumlah petak pesanggem tidaklah luas. Apalagi petani yang nyaris hanya mengandalkan lahan sewaan Perhutani ini tidak terdaftar di Kartu Tani sebab tanahnya tidak bersertifikat, dan itu juga menyebabkan kebanyakan tanaman-tanaman petani di pinggiran petak Perhutani tidak terlalu subur sebab pertanian mereka tidak mendapat subsidi pupuk dari Pemerintah. Solusi yang kemudian harus menjadi kebijakan Pemerintah Kabupaten adalah segera merevitalisasi program Wana Tani yang membuka peluang untuk mendesak lahan Perhutani yang luas itu, agar bagian-bagian lahannya yang masih produktif bisa dimanfaatkan petani-petani tradisional dalam menggarap lahan, logikanya adalah semakin banyak lahan yang digarap, maka pendapatan para petani akan semakin membaik. Itu jika tidak ada politik kotor dalam pengadaan pupuk dan harga jual panen.
Lanjut ke sesi wawancara, sejumlah tokoh-tokoh petani yang kita wawancarai adalah lelaki parobaya dan ada beberapa sudah berumur tua, yang umumya tidak lagi memiliki modal lebih untuk berinvestasi menggarap tanaman palawija jenis lain. Kebanyakan dari petani tradisional di Blora hanya bisa mengandalkan cuaca dalam menentukan apa yang seharusnya ditanam untuk lahan-lahan yang mereka miliki. Komoditi yang umum dijumpai di Blora adalah padi, jagung, ketela, tetapi ada Blora bagian selatan kini dijumpai pula petani-petani yang mulai berinvestasi menanam okra, sebab tanaman jenis ini bisa dipanen setiap hari. Apabila musim kemarau panjang mulai tiba, wilayah Karangpace sebagian besar ditinggalkan penduduknya merantau. Belum lagi tanah mereka yang keras dan tandus, barangkali karena pengaruh tanahnya yang berkapur, sebab dihimpit oleh Pegunungan Kendeng membuat hasil tanaman yang dikerjakan petani tidak terlalu subur. Masyarakat Karangpace masih mengandalkan curah air hujan sebagai satu-satunya suplai pengairan yang dialokasikan di lahan dan sawah. Sebetulnya telah dibangun sebuah bendungan di sisi timur kampung, namun saat musim kemarau panjang, distribusi air yang ditampung di bendungan hanya cukup untuk kebutuhan mandi, cuci dan kakus warga sekitar. Krisis petani tidak hanya terbatas dalam pengairan saja, pupuk pun menjadi masalah yang serius, bahkan tak jarang harga pupuk melonjak tiga kali lipat dari harga normal. Pak Dikin misalnya, dulu ia membeli pupuk Urea hanya dengan harga 200 ribu, tetapi karena ia memiliki lahan tani di wilayah pesanggem, dan tidak terdaftar di Kartu Tani, dengan terpaksa Pak Dikin membeli pupuk kimia dengan harga yang tak masuk akal, angkanya berkisar di nominal 500 ribu untuk satu sak pupuk. Dan yang lebih mirisnya lagi, mayoritas penduduk Karangpace menjual hasil panen mereka ke tengkulak dengan harga yang rendah. Fenomena anjloknya harga panen di musim panen, yang seharusnya harga jualnya cenderung stabil dan tidak merugikan, berdampak terhadap warga miskin di pinggiran Blora yang tidak memiliki pekerjaan sampingan selain bertani dan merawat hewan ternak. Seringkali penduduk Karangpace menjual gabah mereka dengan harga yang alakadarnya, sebab distibusi harga panen juga dimonopoli oleh para tengkulak dan cukong di pasar palawija. Sehingga muncul anekdot di kalangan petani: ‘’Petani itu dituntut untuk menghidupi kebutuhan hidup masyarakat, dituntut bekerja keras seperti kerbau tetapi terus-menerus ditipu dan dicekik. Mereka tidak boleh mengeluh terhadap ketidakadilan yang terjadi. Dan para petani dilarang keras untuk mati!’’
Mencoba memahami keadaan tersebut, peserta Sekolah Ansos menggandeng Dinas DP4 kemudian melakukan kegiatan sosial dengan melakukan praktik pembuatan pakan ternak fermentasi dan penyuluhan perihal pertanian yang objeknya ditujukan kepada para peserta—calon petani milenial—dan juga masyarakat adat Samin yang kebetulan turut hadir mendengarkan penyuluhan dari pegawai Dinas DP4. Karena uang hasil dari bertani dirasa tidak cukup untuk menyambung kebutuhan hidup, mayoritas petani tradisional kemudian menggantungkan hidupnya dengan merawat ternak. Dan untuk meminimalisir pengeluaran yang berlebih terhadap pakan, pegawai Dinas DP4 memberi sosialisasi kepada petani bahwa tumbuhan-tumbuhan yang sebelumnya tidak bisa menggantikan ketergantungan ternak terhadap dami dan rumput, ternyata apabila diolah dan difermentasikan bisa menjadi bahan makanan yang kaya akan nutrisi dan protein untuk hewan ternak. Dengan membawa satu alat perajang tanaman yang dikendalikan oleh mesin diesel, para mahasiswa bergotong royong mencabut bahan-bahan yang diperlukan seperti batang dan daun ketela, batang dan daun pisang, kolomenjing, tebon dan tumbuhan liar. Semua bahan itu kemudian dirajang dengan mesin dan lalu dicampur dengan pupuk cair tetes tebu yang bisa mereduksi kandungan bakteri dari bahan-bahan makanan yang telah dicampur. Semua bahan itu kemudian dimasukkan ke dalam karung untuk diperam selama seminggu, dan setelah masa peram usai, makanan ternak fermentasi itu bisa dijadikan sebagai makanan ternak yang sehat dan bergizi tinggi. Dari sosialisasi itu mahasiswa aktivis menggandeng instansi terkait juga memberikan solusi kepada masyarakat bahwa apabila para petani mampu beradaptasi dengan tekhnologi dan perkembangan zaman, maka cara-cara usang yang seringkali merugikan petani perlahan-lahan akan bisa dicegah. Dan ini juga memberi pelajaran berharga kepada para peserta Sekolah Ansos bahwa pertanian modern memang menjadi arus sentral untuk menuju pertanian yang ideal. Tetapi ini tentunya masih perlu mendapatkan sarana dan pra-sarana yang strategis untuk mendukung penuh kebutuhan petani, agar ke depannya masalah di sektor agraria bisa diperbaiki, mampu memunculkan inovasi yang menguntungkan, dan berhasil mengentaskan kemiskinan yang selama ini dialami oleh para petani tradisional di Blora.
Salam Seger Waras.