Kala mentari merunduk malu di ufuk barat,
Desa Cabak berbisik dalam keheningan hangat,
langit jingga membelai lembut daun kelapa,
dan aku duduk, menunggumu di ujung surau tua.
Langkah-langkahmu gemetar menapaki pematang,
membawa harum kenanga dan bayang kenangan,
kau tersenyum, dan waktu pun melambat,
seperti semesta tahu: kita sedang saling mendekap.
Di bawah pohon jati yang kita tanam dahulu,
kau menyandarkan cinta pada bahuku,
angin mengantar lagu-lagu masa kecil,
di mana cinta tumbuh tanpa perlu janji yang sulit.
Aku ceritakan tentang rinduku yang tenang,
kau tertawa, semburat senja pun jadi terang,
tak ada kata ‘nanti’, hanya ‘kita’ yang kini,
di Desa Cabak, segalanya terasa abadi.
Kau genggam tanganku seperti menggenggam waktu,
dan dunia mengecil hanya jadi milik kita berdua,
sepasang camar melintas di langit yang pucat,
seakan menyampaikan restu dari langit yang penat.
Petani pulang, lonceng sapi berdentang lirih,
tapi hatiku tetap tinggal dalam matamu yang bersih,tak ada kota, tak ada bising,tak ada asing,
hanya cinta yang sederhana dan paling jujur tersaji.
Kita bukan kisah dari novel besar,
tapi catatan kecil yang ditulis senja di akar,
dengan tinta merah daun jati yang gugur,
dan bait-bait cinta yang tak pernah kabur.
Bersamamu, senja di Cabak tak pernah biasa,
selalu ada hangat dalam jeda,
selalu ada harap dalam heningnya,
seperti doa yang tumbuh di dada.
Malam pun datang perlahan dari lembah,
kau peluk aku dan dunia terasa ramah,
bulan mengintip dari celah dedaunan,
menjadi saksi cinta yang tak butuh jawaban.
Dan jika suatu hari waktu menguji jarak,
kenanglah senja kita di Desa Cabak,
Tempat cinta tak pernah mengeluh atau retak,
karena ia tumbuh, di tanah yang penuh berkat.