Sastra

Untuk Ayah Ibu, Di Ujung Perjuangan Ini

Maafkan Aku, Ayah dan Ibu tercinta

Atas tertundanya gelar yang lama dinanti

Aku tahu rindu kalian di kampung sana

Menunggu kabar, kapan anakmu ini akan resmi menyudahi studi

Maafkan jika Aku lebih sibuk di jalan juang

Memilih kaderisasi, menyalakan obor organisasi

Bukan karena lupa, tapi karena Aku ingin bertumbuh matang

Meski itu artinya skripsi’Ku sempat terabaikan sepi

Ayah, aku tahu punggungmu tak lagi sekuat dulu

Cangkul pun kini tak bersahabat dengan tanganmu yang renta

Ibu, aku tahu jemarimu gemetar kala mengaduk nasi di tungku

Dan batukmu kerap menemani sepi malam tanpa suara

Aku mengingat betul, Ayah Ibu mencari hutangan

Demi satu semester lagi aku bisa bertahan

Demi selembar kertas bernama ijazah

Yang kalian harap akan mengubah masa depan

Aku menyesal, sungguh, atas waktu yang terulur

Saat kalian menunggu dalam sabar yang tak berbatas

Sementara Aku sibuk dalam lingkar kader dan tutur

Lupa bahwa usia kalian tak bisa menunggu dengan leluasa

Tapi, Ayah, Ibu… hari itu akhirnya datang jua

Sabtu, 12 Juli nanti, di Graha Nusantara yang sederhana

Semoga kalian diberi sehat walau kaki mungkin gemetar

Untuk menyaksikan anakmu diwisuda, walau harus bersandar

Jangan lagi memikirkan hutang yang dulu sempat menyayat

Aku akan membayar semuanya dengan doa dan hormat

Dengan Wisuda ini aku tak hanya membawa gelar

Tapi juga cinta, perjuangan, dan cucuran peluh yang sabar

Jika Ayah tak bisa lagi berjalan sejauh dulu

Biarlah tangan ini yang menggandengmu

Jika Ibu tak mampu berdiri terlalu lama di situ

Biarlah pelukanku menjadi bangku pelipur laramu

Aku janji, Ayah dan Ibu takkan menyesal

Menunggu meski terlalu lama

Karena di pundak ini ada harapan yang kekal

Doa-doa kalian yang akan ku jaga selama-lamanya

Jadi datanglah nanti, walau pelan dan perlahan

Biar tangis kita pecah bersama di tengah senyuman

Sebab wisuda ini bukan milikku saja

Tapi milik Ayah dan Ibu, yang seharusnya duduk di singgasana bahagia.