Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional, sebuah momentum untuk mengenang jasa Ki Hajar Dewantara, tokoh pelopor pendidikan yang menggagas semboyan abadi: “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” Namun, peringatan ini semestinya tidak sekadar menjadi rutinitas seremonial tahunan. Ia perlu dimaknai sebagai titik tolak refleksi mendalam atas kondisi pendidikan nasional saat ini, termasuk bagaimana posisi pendidikan agama—khususnya Pendidikan Agama Islam—berada dalam arus besar perubahan zaman.
Pendidikan dalam Bayang-Bayang Ketimpangan. Masih banyak problem mendasar dalam sistem pendidikan Indonesia. Akses pendidikan yang tidak merata, kualitas guru yang belum merata, kurikulum yang terlalu padat namun minim makna, hingga sistem evaluasi yang terlalu menekankan pada angka dan ranking. Di tengah gegap gempita transformasi digital dan narasi Merdeka Belajar, masih banyak siswa di pelosok negeri yang belajar tanpa buku, tanpa guru tetap, bahkan tanpa bangunan sekolah yang layak.
Pendidikan seharusnya menjadi alat pembebas. Namun pada kenyataannya, ia justru kerap menciptakan sekat-sekat baru. Sekolah unggulan dan kampus ternama menjadi simbol kasta dalam dunia pendidikan. Mereka yang berasal dari keluarga miskin, dari desa terpencil, atau dari lembaga keagamaan tradisional seperti pesantren, sering kali hanya menjadi penonton dari mimpi-mimpi besar pendidikan nasional.
Pendidikan Islam: Akar yang Terlupakan Sebagai mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam, saya menyaksikan sendiri bagaimana bidang ini sering kali diposisikan di pinggiran. Di mata sebagian orang, pendidikan Islam hanya sebatas pengajaran agama, menghafal dalil, dan tidak relevan dengan tantangan zaman. Padahal, jika kita menengok sejarah, pendidikan Islam adalah pondasi awal lahirnya peradaban keilmuan yang hebat. Dari masjid, surau, dan pesantrenlah dahulu lahir ulama yang juga cendekiawan—pengajar, penulis, filsuf, bahkan ilmuwan.
Namun kini, posisi pendidikan Islam berada dalam persimpangan. Di satu sisi dituntut adaptif terhadap perubahan—termasuk menghadapi tantangan Society 5.0—namun di sisi lain masih belum memperoleh dukungan penuh dari sistem. Banyak lulusan Pendidikan Agama Islam yang kesulitan bersaing di dunia kerja, bukan karena tak mampu, tetapi karena sistem dan stereotip yang belum adil. Padahal, dunia hari ini sangat membutuhkan pendidikan nilai, akhlak, dan spiritualitas—hal yang menjadi kekuatan utama pendidikan Islam.
Merdeka Belajar, Tapi Untuk Siapa? Narasi Merdeka Belajar yang digaungkan pemerintah melalui berbagai kebijakan seperti Kurikulum Merdeka, Asesmen Nasional, dan Platform Merdeka Mengajar adalah angin segar yang patut diapresiasi. Namun, pertanyaan kritis yang harus diajukan adalah: sejauh mana kebijakan ini benar-benar membebaskan pelaku pendidikan dari belenggu lama? Atau justru hanya mengganti jargon, tanpa menyentuh akar masalah?
Sebagai mahasiswa yang juga pernah mengajar di sekolah, saya menyaksikan bagaimana kebijakan nasional seringkali tidak menyentuh realita di lapangan. Guru dituntut menguasai teknologi, membuat modul ajar digital, dan mengikuti berbagai pelatihan daring—padahal di sekolahnya bahkan jaringan internet pun tak stabil. Guru agama pun kadang hanya jadi pelengkap, dianggap kurang penting dibanding guru eksak. Padahal, nilai moral dan spiritual adalah pondasi karakter peserta didik.
Peran Mahasiswa Pendidikan Islam: Tidak Boleh Diam Mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam memiliki tanggung jawab moral yang besar dalam menghadapi situasi ini. Kami bukan hanya calon guru agama, tetapi juga calon pendidik bangsa yang membawa misi nilai. Kami harus keluar dari sekadar zona nyaman akademik. Menulis, berdiskusi, menyuarakan gagasan, melakukan advokasi pendidikan, dan terlibat aktif dalam organisasi adalah bagian dari pengabdian kami.
Di tengah gelombang disrupsi dan modernisasi, kami harus hadir sebagai jembatan antara nilai keislaman dan kemajuan zaman. Pendidikan Islam tidak boleh terjebak pada ritualisme atau dogmatisme semata. Ia harus menjadi dinamis, terbuka, dan membumi. Spirit Islam sebagai agama yang mencintai ilmu harus kami tunjukkan melalui cara berpikir kritis, etika sosial yang kuat, dan kepekaan terhadap realita masyarakat.
Pendidikan Nasional: Harus Kembali ke Hati Nurani
Pendidikan sejatinya bukan soal sistem, kurikulum, atau teknologi semata. Ia adalah soal relasi manusia. Ia adalah dialog antara guru dan murid, antara pemikiran dan kenyataan, antara masa lalu dan masa depan. Di tengah berbagai tantangan pendidikan nasional, kita harus kembali menempatkan kemanusiaan sebagai pusat dari pendidikan.
Ki Hajar Dewantara tidak membangun sistem pendidikan berbasis mesin, tetapi sistem yang membangun manusia merdeka. Merdeka dalam berpikir, dalam bertindak, dan dalam memilih jalan hidupnya. Pendidikan bukan alat menundukkan, tetapi membebaskan. Bukan alat mengarahkan semua ke satu bentuk, tetapi membiarkan setiap individu tumbuh sesuai fitrahnya.
Penutup: Momentum untuk Bergerak
Hari Pendidikan Nasional harus menjadi momentum kebangkitan, bukan sekadar peringatan. Kebangkitan untuk memperjuangkan pendidikan yang adil, yang bermakna, dan yang membebaskan. Mahasiswa Pendidikan Agama Islam harus berada di garis depan perjuangan ini—bukan dengan marah-marah, tapi dengan karya; bukan dengan sekadar mengeluh, tapi dengan solusi.
Jika hari ini masih ada siswa yang kesulitan belajar karena kemiskinan, maka pendidikan kita belum selesai. Jika masih ada guru honorer yang tak dihargai, maka pendidikan kita belum adil. Dan jika pendidikan Islam masih dianggap sekadar pelengkap, maka kita harus bersuara lebih keras.Karena pendidikan bukan soal siapa yang paling pintar, tapi siapa yang paling peduli.