bloramedia.com Blog Sastra Sambongrejo, Jejak Empat Puluh Lima Hari
Sastra

Sambongrejo, Jejak Empat Puluh Lima Hari

Sambongrejo, namamu melekat di dada,

desa yang ramah, penuh doa dan cerita,

ketika pertama kami menjejakkan kaki,

kau sambut dengan senyum yang tulus tak henti.

Langkah kami awalnya penuh ragu,

namun sapaan hangatmu mencairkan beku,

kau ajarkan arti rumah tanpa ikatan darah,

kau jadikan kami keluarga,

bukan sekadar tamu singgah.

“Silakan mampir, Nak, jangan sungkan,”

kata seorang ibu di beranda sederhana,

ucapan itu bagai selimut yang menenangkan,

menghapus letih dan rasa asing di jiwa.

Empat puluh lima hari berputar cepat,

di jalan berdebu, di sawah yang luas,

kami menemukan makna pengabdian sejati,

dalam keramahanmu yang tak pernah habis.

Anak-anak kecil berlari riang,

mereka memanggil nama kami dengan terang,

tawa mereka pecah bagai kicau burung,

menjadi obat rindu kampung halaman yang jauh.

Di ruang kelas, kami duduk bersama,

belajar mengeja, menghitung, membaca doa,

namun sesungguhnya kamilah yang banyak belajar,

tentang kesabaran dan semangat dari mereka.

Sore datang, kami menuju TPQ,

suara-suara mungil melafazkan ayat suci,

cahaya lampu redup menemani lantunan,

membawa damai hingga menembus hati.

Malamnya, di teras rumah warga,

suara tahlil dan doa mengalun lembut,

kami duduk bersila, ikut larut bersama,

merasakan hangatnya iman yang penuh khidmat.

Sambongrejo, engkau laksana guru,

sawahmu mengajarkan sabar menunggu,

ladangmu menanam arti kerja keras,

dan masyarakatmu menanamkan ketulusan tanpa balas.

“Sudah makan, Nak?” sering terdengar,

sapaan sederhana yang begitu akrab,

meski kami tak berkeluh lapar,

kau selalu sediakan kasih tanpa syarat.

Di teras rumah pak huda, kami berkumpul dan berkarya,

berdiskusi tentang rencana dan cita-cita,

namun kau, Sambongrejo, diam-diam menjaga,

menyulam doa agar semua berjalan indah.

Teras posko jadi saksi bisu,

tawa, canda, juga lelah yang menyatu,

malam panjang kami habiskan dengan cerita,

tentang hari ini, dan harapan untuk esoknya.

Warga datang membantu dengan ringan,

tak kenal pamrih, hanya ketulusan,

dari sana kami belajar pelajaran penting,

bahwa kebaikan selalu menemukan jalan.

Hari-hari berjalan begitu cepat,

hingga kami lupa menghitung detik yang lewat,

tak terasa waktu pamit semakin dekat,

membuat hati bergetar, mata mulai basah.

“Jangan lupakan desa kami, Nak…”

ucap seorang bapak dengan nada lirih,

kalimat itu menancap dalam dada,

menjadi janji yang takkan terganti oleh jarak.

Sambongrejo, engkau bukan sekadar persinggahan,

engkau rumah yang kedua bagi kami,

tempat kami menaruh hati dan harapan,

yang kelak selalu kami rindukan kembali.

Setiap sudutmu menyimpan kenangan,

dari sawah hijau hingga balai desa,

dari tawa anak-anak hingga doa orang tua,

semuanya terpatri dalam ingatan selamanya.

Kami mungkin pergi, meninggalkan jejak,

namun jejak itu bukan untuk dilupakan,

ia adalah pengikat, pengingat,

bahwa pengabdian sejati tak pernah lekang.

Empat puluh lima hari, sekejap terasa,

namun cukup untuk mengikat rasa,

ramahmu, Sambongrejo, takkan terganti,

kau abadi dalam hati kami selamanya.

Maka izinkan kami pamit dengan doa,

terima kasih atas segalanya,

kami datang membawa niat sederhana,

dan pulang membawa kenangan yang tak ternilai harganya.

Blora, 25 Agustus 2025

Yusron Ridho Nurfatoni

Exit mobile version