bloramedia.com Blog Opini SASTRA FEMINIS DAN PERLAWANAN YANG TAK PERNAH PADAM
Opini

SASTRA FEMINIS DAN PERLAWANAN YANG TAK PERNAH PADAM

Ilustrasi Feminisme

Saat menemukan rak-rak di toko buku penuh dengan judul-judul buku yang ditulis perempuan; dengan segera saya bisa mengidentifikasi hanya dengan mencerna diksi dan sinopsisnya. Penulis perempuan cenderung mengungkapkan situasi cerita, menggantungkan banyak kalimat pertanyaan yang nakal dan seksi, dan kadang-kadang timbul pula kontradiksi, meski hanya diwakili oleh beberapa, dan tak semua penulis perempuan saklek tentang pandangan ini, namun yang paling mencolok, selama saya menyelidiki; penulis perempuan tak bisa melarikan diri dari anggunnya feminisme. Itu istilah paling familiar dan sulit untuk digoda. 

Terkadang ada tema-tema perlawanan yang diangkat penulis perempuan, Nawal El Saadawi dianggap paling populer mewakili ini, walaupun ia bukan pencetus gerakan ini, tapi ia diperhitungkan lewat karya Perempuan di Titik Nol , melalui ciri utama tokoh perempuan yang mula-mula pasrah, kemudian lewat satu gejolak tiba-tiba beralih melawan adalah bentuk ekspresi atas penindasan gender yang berkedok seksualitas. Ini kemudian diikuti lewat karya-karya yang satu tema, namun beda latar dan cerita.

Jika kita menilik pada periode sastra Indonesia, sastra feminis memang baru muncul belakangan. Jauh setelah gemuruh Angkatan ’45 yang mengangkat tema kelaparan, kekacauan dan revolusi itu. Atau era-era ketika Lekra bersitegang dengan Manifes Kebudayaan di tahun ’60-an. Pada tahun-tahun itu, dominasi sastra di Indonesia hanya dihuni oleh sastrawan-sastrawan senior, mereka sebagian besar laki-laki yang hidup di beberapa fragmen yang terbentuk atas penjajahan Belanda dengan sikap pengarang saat itu yang ingin menghentikan segala penindasan rasial dan feodalisme; sehingga muncul pada saat itu nama-nama seperti Abdul Muis, Marah Rusli, Nur St Iskandar, Merari Siregar, dan Mas Marco Kartodikromo. Ini hanya sebagian kecil dari penulis yang disebut. Menjelang kemerdekaan, muncul lagi angkatan-angkatan yang mewakili ideologi pemikiran lewat karya mereka, kebanyakan mewakili peran mereka dalam pembebasan zaman penjajahan fasis Jepang dan karya-karya yang terbit saat masa bersiap. Kemudian kita mengenal sebagian yang menghidupi kebudayaan pada masa itu, antara lain Idrus, Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar, Balfas dan Ramadhan KH. Karya-karya mereka identik dengan perlawanan, pantikan dari sisa-sisa api revolusi, yang kemudian membawa mereka menuju generasi ’45 yang masih kita kenang dan terus dipelajari sampai saat ini di berbagai kurikulum pembelajaran.

Dari banyak generasi itu, hanya sedikit penulis perempuan yang muncul. Tetapi sebelum publik mengenal sastra feminis, di Indonesia, apabila kita selidiki, ada beberapa penulis perempuan yang sudah eksis di jalur pacuan yang jarang tersentuh ini. Mereka adalah Selasih dan S. Rukiah, masing-masing penulis itu berasal dari Sumatera dan Bali. Pada zamannya, karya-karya mereka dapat dilacak di berbagai media cetak yang terbit baik mingguan atau bulanan, dan beberapa karya mereka yang dihimpun berhasil diterbitkan dan sampai ke tangan pembaca. Tema-tema yang diangkat mereka pada saat itu belum sekompleks dengan tema sastra feminis yang kita kenal sekarang. Kala itu, cerita-cerita yang dekat dengan mereka adalah budaya kawin paksa yang ditentang dan diterima sebagian kalangan, atau kadang-kadang bercerita tentang nasib seorang perempuan yang pasrah sehingga tampak seperti mainan yang ketika rusak bisa dibuang dan dilempar begitu saja. Namun kalau kita tarik lebih jauh ke belakang, sebetulnya R.A Kartini juga mengusung kredo-kredo semacam itu lewat kumpulan tulisan suratnya yang kemudian berhasil diperbaiki dan dicetak oleh sastrawan Armijn Pane dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang . Kartini yang selama ini kita kenal merupakan pelopor kebangkitan perempuan di Indonesia, yang sering kita sebut emansipasi. Ia lahir dari bangsawan Jepara yang sangat kental budaya diskriminatif dan feodalisme di sekelilingnya. Latar belakang perjuangannya berawal saat Kartini masih berusia 12 tahun, di mana ia merasa wanita di Indonesia pada saat itu dibelenggu oleh norma 3 M (masak, macak, manak) yang populer di Jawa pada saat itu. Sehingga Kartini merasa peran perempuan sangat diremehkan dalam beberapa hal, menurutnya, akan lebih adil jika wanita tidak bergantung kepada siapapun dan hidup mandiri dengan memperkenalkan pendidikan yang bersifat pemberdayaan. Maka kemudian Kartini, dimulai dari lingkungan terdekatnya, mulai membuka sekolah yang menerapkan pembelajaran baca tulis dan kursus. Gerakan Kartini dalam mengumpulkan perempuan ini kemudian diikuti oleh sebagian besar aktivis perempuan di berbagai daerah pada saat itu, yang mana selain belajar membaca dan menulis, perempuan-perempuan desa dibekali kursus menjahit baju, menyulam, dan mendidik. Cara ini, menurut Kartini, bisa menaikkan derajat perempuan. Perjuangan mulia ini kemudian diteruskan, atau bahkan dirintis oleh aktivis-aktivis perempuan di lingkungannya masing-masing. Antara lain kita mengenalnya: 1) Dewi Sartika. 2) Maria Walanda Maramis. 3) Nyai Walidah Ahmad Dahlan. 

Siapa yang pertama kali menggagas sastra feminis? Dan apa yang diusung sastra feminis? 

Sastra feminis menawarkan pandangan yang lebih luas bahwa sebenarnya para pembaca perempuan dan kritikus perempuan pada umumnya dapat membawa presepsi, pengertian, dan dugaan yang berbeda dalam pengalaman membaca karya sastra dibandingkan para lelaki. Dan pengalaman itu menjadi pelopor untuk pemikiran-pemikiran perempuan yang beraneka rupa. Pencetusnya adalah penulis perempuan asal Inggris, namanya Mary Wollstonecraft, dengan karya babonnya yang berjudul The Vindication of the Rights of Woman , terbit pada tahun 1792, dan segera kredo-kredonya tersebar dan dikagumi penulis perempuan lain di berbagai belahan dunia. 

Di Indonesia sendiri, telah banyak penulis perempuan yang muncul dengan gagasan yang lebih kompleks. Walaupun memang kategori ini kemudian terbelah lagi dengan meledaknya sastra wangi, yang diperkenalkan oleh Ayu Utami dengan karya Saman dan Djenar Maesa Ayu lewat karya Mereka Bilang, Saya Monyet!. Keduanya memadukan dan menggarap isu feminisme dengan seksualitas dari sudut pandang berbeda. Namun, yang paling umum diterima dan menjadi budaya konsumsi masyarakat untuk saat ini adalah tema-tema seputar idealisme perempuan, gender, adat, budaya, agama, dan kebebasan ekspresi. Beberapa penulis perempuan yang diperhitungkan dalam angkatan ini adalah Leila S Chudori dengan karya berjudul Nadira , Okky Madasari dengan novelnya Pasung Jiwa , dan Laksmi Pamuntjak dengan karya terkenalnya Amba . Karya-karya yang mengusung tema feminisme terus berkembang setiap tahunnya, dengan garapan tema yang lebih segar, baru dan berani bereksplorasi. Kadang-kadang eksperimen tulisan perempuan cenderung sulit ditebak dan lebih serius.  

Penulis perempuan, diakui atau tidak, sudah mendapatkan tempatnya. Di berbagai negara, ada banyak sekali apresiasi sastra yang dimenangkan oleh penulis perempuan, tentu lewat karya-karya mereka yang paling populer dan paling banyak mendapatkan perhatian umum. Bahkan kalau kita melihat dari perolehan pemenang Nobel Sastra, sejak pertama kali digelar, dari 115 pemenang Nobel Sastra, 14 diantaranya berhasil dimenangkan oleh perempuan. Terbaru pada tahun 2022, seorang penulis dan aktivis perempuan asal Perancis bernama Annie Ernaux, berhasil menenangkan penghargaan Nobel Sastra yang pertama untuknya saat usianya 82 tahun. Di Perancis, Annie Ernaux dikenal sebagai aktivis gender dan penulis semi-biografi. Karya-karyanya diterima publik dan diterjemahkan dalam beberapa bahasa. Pada tahun itu, ia bahkan berhasil mengungguli nama-nama yang digadang-gadang meraih penghargaan tahunan tersebut, yang bahkan orang menduga bahwa Haruki Murakami, penulis novel terkenal asal Jepang, adalah pemenangnya. André Olsen, juru bicara Ketua Komite Nobel Sastra mengatakan kepada pers bahwa Annie Ernaux tidak takut mengungkapkan kebenaran yang tersembunyi. Ini senada dengan pernyataan Annie Ernaux sendiri yang telah dikutip:

“Saya akan terus berjuang sampai napas terakhir demi membela hak-hak perempuan.”

Annie Ernaux, penulis perempuan asal Perancis yang memenangkan Nobel Sastra 2022.

Meskipun gerakan-gerakan perempuan di Indonesia sangat masif, bahkan di internal PMII kita mengenal Kopri, yang seluruh kadernya merupakan perempuan-perempuan pencetus dan pemikir, namun tetap ada tantangan-tantangan yang relevan untuk dihadapi perempuan pada masa kini. Saya merangkum beberapa, dan perlu adanya pendalaman tentang cara menekan ketidakadilan ini.

1) Masih adanya kesenjangan gender dalam akses dan penggunaan teknologi.

2) Cyberbullying. Atau kekerasan seksual dan pelecahan di tempat umum dan tertutup.

3) Kesenjangan gender dalam pekerjaan teknologi.

Kadang-kadang, walaupun gerakan emansipasi dan perlawanan yang diinisiasi perempuan-perempuan di era sekarang telah diterapkan, tapi diakui atau tidak, budaya patriarki masih sering terjadi. Lelaki, secara alamiah, akan memberi terlalu banyak gugatan dan batasan untuk perempuan.

Exit mobile version