bloramedia.com Blog Desaku Kampung Samin Sambongrejo: Sepotong Surga Kearifan di Tengah Derasnya Zaman
Desaku

Kampung Samin Sambongrejo: Sepotong Surga Kearifan di Tengah Derasnya Zaman

Di ujung timur Kabupaten Blora, tersembunyi sebuah desa yang tidak hanya menyuguhkan keindahan alam, tapi juga menghidupkan kembali nilai-nilai kehidupan yang mulai pudar di tengah hiruk pikuk dunia modern. Itulah Sambongrejo- desa yang kini dikenal luas sebagai Kampung Samin. Bukan sekadar tempat wisata, tetapi ruang hati yang menyentuh siapa pun yang datang dengan niat belajar, bukan sekadar berjalan-jalan.

Sambongrejo bukan desa biasa. Ia adalah rumah dari komunitas Sedulur Sikep, yang lebih dikenal sebagai masyarakat Samin – sebuah kelompok yang hidup dengan jujur, sederhana, dan bersahaja. Bukan karena tertinggal, tapi karena mereka memilih hidup apa adanya, tanpa tipu daya, tanpa kerakusan. Tak heran, desa ini masuk dalam 75 besar Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) tahun 2023 dan sebelumnya dinobatkan sebagai Desa Wisata Terbaik se-Kabupaten Blora. Bukan karena glamor, tapi karena ketulusan.

Begitu melangkah ke Dukuh Blimbing, pintu pertama menuju Kampung Samin, suasana langsung terasa berbeda. Udara segar, senyum warga yang tulus, dan alunan musik Gejog Lesung serta Drumblek dari alat pertanian semua menyatu dalam kesederhanaan yang menyejukkan hati. Para pengunjung bahkan dikenakan udeng atau iket khas Samin, sebagai simbol bahwa mereka datang bukan untuk menghakimi, tapi untuk merunduk belajar dari laku hidup yang penuh makna.

Pengalaman di Sambongrejo bukan tentang “apa yang dilihat”, tetapi “apa yang dirasakan”. Duduk di Pendopo Agung, menikmati gethuk, kacang rebus, dan wedang cangkruk, sambil mendengar petuah dari Mbah Pramugi Prawiro Widjojo – tokoh Sedulur Sikep yang dihormati membuat siapa pun terdiam. Bukan karena tidak mengerti, tapi karena pesan yang disampaikan sangat dalam: bahwa hidup itu cukup dengan jujur, sederhana, dan tidak menyakiti siapa pun. Betapa langkanya pesan seperti itu hari ini.

Di kampung ini, wisata bukan soal selfie dan eksistensi, tapi soal koneksi: dengan diri sendiri, dengan sesama, dengan alam, dan dengan nilai yang selama ini mungkin terlupa. Pengunjung diajak ikut membatik dengan motif khas lokal, membuat tempe bungkus daun jati, hingga mengolah tape dan nagasari secara tradisional. Bukan sekadar kegiatan, tetapi ritual untuk kembali merasakan bahwa tangan sendiri bisa menciptakan kebahagiaan, bukan hanya membeli.

Dan ketika malam tiba, semuanya menjadi lebih sunyi, lebih hening, dan justru lebih menyentuh. Menginap di rumah warga – homestay yang sederhana tapi hangat membawa kita pada kedamaian yang nyaris mustahil ditemukan di kota. Suara jangkrik, lampu temaram, dan angin malam yang lembut membuat kita sadar: ini bukan hanya wisata, ini pulang.

Pagi hari, embun di dedaunan dan mentari yang malu-malu menyinari pematang sawah menyambut seperti doa. Sebuah sapaan lembut bahwa hidup tak perlu tergesa, dan bahwa kebahagiaan bisa ditemui dalam langkah yang pelan namun pasti.

Lebih dari semua itu, Sambongrejo adalah saksi sejarah tentang bagaimana sebuah komunitas yang dulu dianggap berbeda, kini mulai diterima dengan terbuka. Masyarakat Samin bukan penentang negara, mereka hanya memilih hidup dengan prinsip: jujur, tidak mengambil hak orang lain, dan hidup berdampingan dengan alam.

Sambongrejo bukan hanya menawarkan wisata, tetapi memberikan pelajaran tentang bagaimana hidup bisa tetap bermakna di tengah dunia yang terus berubah. Ia mengajak kita menyelami arti kata cukup, mengenali kembali akar, dan menyadari bahwa menjadi manusia bukan tentang menjadi yang paling tinggi, tapi menjadi yang paling tulus.

Di saat banyak tempat wisata berlomba menawarkan kemewahan, Sambongrejo justru menunjukkan bahwa ketulusan adalah daya tarik paling kuat. Karena dari kejujuran dan kesederhanaannya, lahir keindahan yang tak bisa dibeli oleh uang: ketenangan hati.

Sambongrejo bukan hanya destinasi. Ia adalah perjalanan pulang- pulang pada nilai, pulang pada makna, pulang pada jati diri. Sebuah kampung yang tidak hanya membuka pintu rumahnya, tapi juga membuka mata dan hati kita semua.

Exit mobile version