bloramedia.com Blog Sejarah Pengaruh Cerita Rakyat dalam Penamaan Kota Blora
Sejarah

Pengaruh Cerita Rakyat dalam Penamaan Kota Blora

Gambar Masjid Baitunnur Blora Tahun 1862

Pendahuluan

    Merujuk pada data yang tertulis, Tumenggung Wilatikta merupakan bupati pertama Kabupaten Blora, pengangkatannya dicatat juru tulis bertepatan hari Kamis Kliwon, tanggal 2 Sura tahun Alib 1675, dalam kalender Masehi, 11 Desember tahun 1749. Naiknya Tumenggung Wilatikta menjadi bupati Blora, merupakan peninggalan pemerintahan Mangkubumi yang telah mengalahkan Mataram.

    Sampai dengan sekarang, dongeng tentang Blora: baik yang berupa folklor, dibualkan dari mulut ke mulut, maupun lontar dan babad kuno hanya sedikit yang menyinggung terkait penamaan kota Blora. Maka muncul pertanyaan yang mengusik pikiran. Mengapa kota yang 60% wilayahnya masihlah hutan belantara ini dinamakan Blora? Apa sebab-sebabnya, dan apakah ada literatur kuno yang menyinggung Blora sebelumnya, ini tentu perlu kita telisik dan perbaiki lagi kenyataannya.

Permasalahan

    Bila merujuk dalam pupuh Dandhang Gula, yang dikisahkan pada Babad Giyanti, pengangkatan Tumenggung Wilatikta ini memang betul-betul terjadi; yang mana, ini menjauhkan anggapan bila hal itu merupakan kisah fiktif/legenda. Setelah perang lokal yang membuat Jawa porak-poranda, pemerintahan Mangkubumi berhasil menguasai wilayah-wilayah milik Mataram, termasuk daerah Bang Wetan yang terdapat daerah administrasi kecil seperti: Grobogan, Wirasari, Rembang, Blora, sampai Pati. Sebab kekalahan dari Mataram, maka seluruh wilayah di Bang Wetan diserahkan pula kepada pemerintahan Mangkubumi, itu seperti yang disarikan dalam perjanjian Giyanti-Mataram. Dalam isi pupuh yang ditulis, sudah terjadi perbedaan penyebutan dari ucapan orang lama ke bentuk yang kita kenal sekarang. Juru tulis kasultanan menyebut Blora sebagai: Balora.

‘’Pepak andher sanguning bupati, Pangran Tumenggung Gadamastaka, ugi anunggil barise. Mentas andon anglurug, bedhah ingkang Balora nagri. Tumenggung Wilatikta, Balora wus ngumpul. Suranata awawarta, yen pangeran masanggrahan Pelem desi, wusya rerep watara.’’

Terjemahan bebas:

(Tumenggung Pangeran Gadamastaka baru saja menaklukkan Blora seperti pesan Pangeran Mangkubumi ketika akan berangkat ke selatan dahulu. Tumenggung Wilatikta Blora menyerah dan bergabung. Adipati Suranata yang baru saja dari selatan mengabarkan kalau Pangeran Mangkubumi sekarang bersarang di Desa Pelem)

Ini bisa kita teliti lebih lagi: bahwa pada tahun 1749, orang masih mengenal Blora dengan sebutan Balora. Pemetaan dan perubahan bentuk ini menghilangkan huruf ‘a’ setelah pengucapan nama pertama ‘b’ yang kemudian melebur dan menyisakan 5 huruf saja. Pada masa kolonial Belanda, ketika para pejabat mengirim insinyur-insinyur untuk membangun kota Cepu, waktu itu mereka sudah menyebut ibukota kabupaten dengan sebutan Blora, (Konsensi Panolan, 1853)

Sedangkan asal-usul yang paling kesohor mengenai penamaan kota ini adalah; dahulu orang-orang yang pertama menetap di Blora memberi nama sehampar tanah yang berisi permukiman dengan sebutan Mbeloran. Menurut cerita, kala itu di tengah-tengah kota masih merupakan tanah liat yang berlumpur, sebab letaknya dihimpit oleh pengunungan yang berdaki-daki. Karena hujan yang terus-menerus, daerah becek itu kemudian dinamakan Mbeloran. Secara etimologi merupakan penggabungan dua asal kata Wai+Lorah. Wai artinya air dan lorah artinya jurang yang menjorok, atau tanah yang rendah.

            Tapi nama itu tak sendiri. Beberapa sumber tulisan memberi arti yang berbeda terkait penamaan kota Blora. Seperti yang diketahui, pada masa Demak, dahulu Blora cuma wilayah kecil yang dikepung oleh hutan belantara dan pedesaan. Tempat yang jadi pusat peradaban adalah Jipang Panolan, sebab di sana terdapat padepokan, sekaligus istana kadipaten milik Aryo Jipang, dan saat itu, Blora masih masuk dalam administrasi wilayah Kadipaten Jipang. Barulah pada masa Pajang, beberapa tempat di Blora mengalami perubahan, perkampungan pun semakin berdempet-dempet, dan itu ditambah pula oleh pengungsian orang-orang Jipang yang berbondong-bondong menuju Blora sebab perlakuan tidak manusiawi tentara dan pejabat Pajang, setelah Aryo Jipang tewas ditikam Sutawijaya dalam satu pertempuran sengit di Bengawan Sore. Itu ditambah pula dengan kemunculan orang-orang Tionghoa, yang bersauh di Lasem dan mencari penghidupan lebih layak ke arah Selatan. Beberapa keturunan kemudian beranak-pinak di Jepon dan Kota, (ini masih dapat dilihat dari bekas bangunan dan lapak toko Pecinan) akan tetapi pusat perdagangan dilakukan di Blora, yang menjadi pusat titik orang-orang dari penjuru arah. Bukti tentang berkembangnya bekas wilayah administrasi itu bisa dibuktikan dengan berdirinya kelenteng Hok Tik Bio yang didirikan pada tahun 1879, itu merupakan ciri-ciri eksodus orang-orang Tionghoa ke tempat yang lebih ramai, dan didirikannya masjid agung Baitunnur yang dibangun Raden Tumenggung Jayeng Tirtonoto pada tahun 1774, yang menjadi pertanda Blora sebagai tempat berkumpulnya orang-orang kadipaten.

Sedangkan cerita yang menyinggung tentang asal-usul penamaan kota Blora antara lain:

1. Versi Cerita Calon Arang.          

    Cerita ini mula-mula dipaparkan oleh Prof. Dr. Purbatjaraka, yang memiliki kesimpulan menarik terkait sebuah dongeng lama yang terjadi sejak zaman Raja Erlangga (abad 11). Asal-usul cerita ini bermuara ke tokoh cerita: Calon Arang, ia adalah seorang janda parobaya yang dikatakan menyembah Dewi Durga (Dewa pemberi balak) dan mempelajari ilmu hitam untuk membuat kehancuran di Daha. Di saat yang bersamaan pula, ada seorang pertapa yang mengamalkan kitab Weda, ia lelaki yang tulus dan penyebar amal saleh, namanya Empu Baradah, tempat tinggalnya di Wurare.

    Kata Wurare sendiri secara etimologi berasal dari Bhu=tanah, dan rare=anak. Oleh orang-orang dahulu, tempat tinggal Empu Baradah dinamai pula dengan sebutan Lemah Patra, atau Lemah Putra. Dalam Cerita Calon Arang, disebutkan bahwa tempat tinggal Empu Baradah adalah Lemah Putra, dalam kitab Nagarakretagama pun menyebut demikian. Sementara kata Wurare sendiri sebetulnya dari bentuk asal kata Wurara. Namun sebab penduduk pada waktu itu kurang memahami bahasa, nama-nama ini mengalami banyak perubahan dari Wurara, ke Wurare, ke Wrura, menjadi Wlura, Blura, Balora, dan Blora. Ini bisa diartikan bahwa tempat kediaman Empu Baradah adalah Blora pada masa sekarang.

    Bahkan kata Wurara ini sudah muncul sejak tahun 827 C, yang dikenal dengan nama Hurantan. Dalam bahasa Jawa Kuno, kata ntan merupakan bentuk krama dari ra, sehingga bila dimaknai secara harfiah, disebut pula sebagai Hurara. Hurantan ini dapat disamakan dengan nama kerajaan tua yang pernah disebut dalam berita Tiongkok agak kuno dengan nama Ho-lo-tan, yang diberitakan memiliki hubungan dengan kerajaan Tiongkok, dan sejak tahun 430, 436, 449, dan 452 Masehi, telah mengirimkan utusan ke sana. Sementara raja negeri Hurantan disebut mempunyai nama Che-li-p’o-ta-t’o-a-la-pa-mo yang bila dieja, dapat dikira-kirakan bernama: Cri bhatar(ra) Dwarawarman. Jika catatan ini benar, maka Hurantan adalah kerajaan purba yang telah berdiri sebelum Kerajaan Kalingga (berdiri 594 M dan runtuh 695 M).    

2. Versi Kadipaten Bangir

    Setelah Perang Java Oorlog (1825-1830), Naya Gimbal—salah satu pendekar Pangeran Diponegoro, melakukan pemberontakan ke Kadipaten Bangir. Penyerangan itu membuat kota Bangir porak-poranda dan banyak korban tewas bergelatakan. Adipati Bangir kemudian bersemedi untuk mendapatkan wangsit, dalam mimpinya, ia mendapat petunjuk bahwa adik lelakinya, Wedana Ngadi, adalah satu-satunya orang yang bisa mengalahkan Naya Gimbal.

   Pertempuran balasan terjadi, dan Wedana Ngadi berhasil mengalahkan Naya Gimbal beserta balatentaranya. Oleh sebab rasa bahagia yang meluap-luap, Adipati Bangir kemudian memberikan hadiah kepada adik lelakinya itu berupa separoh daratan Kadipaten Bangir. Singkat cerita, dilantiklah Wedana Ngadi menjadi bupati baru. Dan tamu-tamu dari pejabat Afdeling berdatangan membawa banyak sekali hadiah. Salah satunya ada yang membawa kuda teji. Namun sebelum dihadiahkan, kuda itu tiba-tiba sakit, sehingga Bupati Ngadi, yang waktu itu belum memberikan nama untuk daerah kekuasaannya, mendapat ide dari peristiwa yang telah dilihatnya. Ia lalu memberi nama Belora untuk kadipaten baru ini. Diambil dari kata belor=kuda, dan lara=sakit. Ketika meninggal, Bupati Ngadi disemayamkan oleh penduduk di sebuah tempat, yang kini dikenal luas dengan nama Ngadipurwo.

Kesimpulan

    Dengan bukti-bukti cerita rakyat di atas, itu menandakan sebuah dugaan bahwa orang-orang zaman dahulu selalu menandai sesuatu dengan sebuah peristiwa yang memiliki momentum, bahkan orang bisa menamakan sebuah daerah dari asal kata benda, buah, hewan, pohon, doa, atau sebuah peristiwa yang membekas di indera mata. Penyebutan Blora juga demikian. Pada mulanya, barangkali, penyebutan Blora merupakan bentuk perubahan dari Balora, dan Balora bukanlah nama asal, sekalipun nama ini beberapa kali disebut dalam perjanjian Giyanti-Mataram maupun Babad Tanah Jawi pada abad 18 M.

    Seorang pelancong Belanda, Francois Valentijn, pada paroh akhir abad 17 M, menyebut sebuah nama kota dengan: Valoora, dan ini disebutkan dalam buku fenomenalnya, Oud en Nieuw Oost-Indien.  Itu berarti, sejak abad 17 orang-orang sudah menamakan Balora, dan oleh lidah dan pendengaran peranakan Eropa seperti Francois Valentijn, berubah ejaan bentuknya menjadi Valoora. Ini bisa jadi merupakan evolusi dari kata-kata lain yang berkaitan, dan oleh bualan dan ejaan penduduk yang kurang memahami bahasa, perkataan asal mengalami perubahan yang bertahap.

Sebab sulitnya melacak nama awal Blora sendiri dapat disimpulkan oleh:

1. Blora bukan wilayah pesisir, sehingga sulit bagi penjelajah, orang manca, pelancong, atau pun pedagang dari negeri lain untuk bisa melacak keberadaan atau mendengar namanya.

2. Masyarakat Blora pada abad 7-12 M, kurang bisa memahami bahasa, dan tidak atau belum terjamah oleh budaya baca-tulis. Seperti dipahami, bahwa menulis hanya dikenalkan kepada golongan bangsawan, dan itu untuk keperluan politik mereka.

3. Letak Blora yang dikepung hutan belantara. Tempatnya yang dahulu masihlah merupakan perkampungan yang sepi, serta tidak dijadikannya Blora sebagai pusat perdagangan, membuat data atau berita tentang Blora kurang begitu dikenal.

4. Pada zaman Majapahit, Demak, dan Mataram, wilayah Blora hanya dijadikan daerah sempalan atau wilayah administari, dibuktikan oleh penamaan Bang Wetan yang dipeta-petakan dalam beberapa wilayah.

5. Pada masa kolonial Belanda, Blora bukanlah kota besar. Oleh sebab itu, hanya sedikit, bahkan hampir tidak ada, para akademisi yang tinggal dan meneliti di Blora selain pejabat mengurus Afdeling dan kantor-kantor persemakmuran Hindia-Belanda.

6. Belum ada temuan baru tentang hal ini (asal-usul kota Blora)-red.

                                               ______________

Daftar Pustaka:

1. Toer, Pramoedya Ananta, Cerita Calon Arang, (Lentera Dwipantara, 2010)

2. Tri Wahyuni, Umi Farida, Desi Ari Pressanti, Cerita Rakyat Jawa Tengah Kabupaten Blora, (Balai Bahasa Jawa Tengah Kemendikbud, 2017)

3. Olthof, W.L, Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Pangeran Purbaya, (Narasi, 2017, cet-5)

4. Redaksi Sejarah, Totok Supriyanto, Asal Nama Blora (Liputan Bloranews, 16 Mei 2022)

5. Sejarah Blora (Wikipedia.com)

Lampiran

Prof, Dr, Purbatjaraka

Prof, Dr, Purbatjaraka, seorang sastrawan dan peneliti yang menyatakan bahwa Wurare merupakan tempat tinggal Empu Baradah, yang kemudian diperkirakan oleh Pramoedya Ananta Toer, bahwa nama kota Wurare kemudian berkembang lisan menjadi Blora.

Arca Mpu Bharada

Arca yang mewujudkan sosok Empu Baradah, ia hidup pada abad 11, pada masa pemerintahan Raja Erlangga. Arca ini merupakan bentuk penghormatan atas jasa-jasanya sebagai seorang pandita

Arca Joko Dolog

Arca Joko Dolog, merupakan peninggalan dari Kerajaan Singosari, perwujudan dari Raja Kertanegara. Mulanya arca ini dibangun di areal Candi Jawi. Pendapat lain mengatakan bahwa arca Joko Dolog dahulu didirikan di sebuah tempat bernama Wurare. Sekarang arca ini disimpan di salah satu cagar budaya yang ada di Jalan Taman Apsari, Surabaya. 

Kompleks Makam Keluarga Tirtonatan

Kompleks makam keluarga Tirtonatan. Berada di sebuah desa bernama Ngadipurwo, berasal dari kata Ngadi (Bupati Ngadi) dan Purwo (pemula). Menurut tutur tinular warga setempat, di sinilah letak makam bupati pertama Blora, yaitu Bupati Ngadi, yang sebelum meninggal, ia berpesan agar disemayamkan di tapal utara yang berbatasan dengan Kadipaten Bangir. Tempat ini dijadikan kompleks makam para bupati Blora.

Masjid Baitunnur Blora

Masjid Baitunnur Blora, dibangun tahun 1774 oleh Tumenggung Jayeng Tirtonoto, ini menjadi tanda peradaban Kabupaten Blora, sekaligus warisan sejarah dari para leluhur. Ada pembuktian lain bila Masjid Baitunnur sebetulnya dibangun oleh Sunan Pojok pada tahun 1772, sebelum diteruskan pembangunannya oleh Tumenggung Jayeng Tirtonoto.

Kelenteng Hok Tik Bio

Ada banyak kelenteng Hok Tik Bio yang tersebar di berbagai tempat. Sementara kelenteng Hok Tik Bio di Blora dibangun pada tahun 1879 oleh beberapa peranakan keluarga Tionghoa. Salah satu ciri-ciri peranakan Tionghoa pada zaman dulu adalah membangun tempat tinggal untuk berdagang di tempat ramai yang dijadikan masyarakat sebagai titik kumpul. Maka selain Masjid Agung Baitunnur yang dibangun di samping pendopo kabupaten, kelenteng Hok Tik Bio juga merupakan bukti peradaban Kabupaten Blora yang masih berdiri sampai sekarang.

Exit mobile version