bloramedia.com Blog Sastra Saat Aku Belajar Melepaskan
Sastra

Saat Aku Belajar Melepaskan

Sore itu, langit Blora diselimuti jingga lembut. David duduk di depan posko Nahdlatul Ulama ( NU),menatap layar ponsel. Jemarinya gemetar saat mengirim sampul buku yang baru saja ia rancang. Judulnya Senja di Desa Cabak. Buku itu adalah pengakuan diam-diam tentang banyak hal yang ia pendam: tentang perasaan, tentang luka, dan tentang harapan yang patah di tengah jalan. David mengirimkannya ke nomor sarah—gadis yang baru ia kenal, tapi terasa seolah telah lama hadir di dalam hidupnya.

“Bagus, cuy,” balasnya.

Suatu malam, David memberanikan diri mengirimkan pesan panjang lebar kepada sarah tentang kekecewaannya pada Iza. Tentang bagaimana perjuangannya tak pernah dihargai. Sarah hanya membalas satu kata: “Sabar.”

Sederhana. Tapi mengena. Sejak itu, aku mulai menata ulang hatiku. Bukan untuk melupakan Iza, tapi untuk memberi ruang pada seseorang yang baru.

Memasuki semester dua, takdir kembali mempertemukan David dan Sarah di kelas A1. Kebetulan Mahasiswa PAI dan PGMI digabung dalam satu kelas. Tak disangka, Sarah terpilih menjadi ketua kelas. Dan David, secara mengejutkan ditunjuk sebagai wakilnya.

Kedekatan mereka tak lagi sebatas percakapan lewat WhatsApp. Kini setiap hari David duduk di sampingnya sarah. Mereka berdiskusi, mengatur jadwal, menyusun laporan, atau sekadar tertawa bersama di sela-sela lelah perkuliahan. Sarah adalah sosok yang cerdas, percaya diri, dan memiliki semangat yang membakar siapa pun di sekitarnya.

Momen paling berkesan adalah saat PEMIRA (Pemilu Mahasiswa Raya) . David bertugas membuka kertas suara, sementara Sarah berdiri di depan, mengumumkan hasilnya satu per satu. Mereka seperti tim yang telah lama bekerja sama. Kompak, padu, dan saling melengkapi.

Namun, sebagaimana hidup yang tak pernah benar-benar berjalan mulus, David kemudian mengambil keputusan mengejutkan mau pindah ke kelas ekstensi. Alasan utamanya karena jam kuliah reguler tak lagi sejalan dengan ritme kehidupannya yang mulai penuh aktivitas di luar kampus. David sudah izin ke kaprodi, meski sempat dipertanyakan karena statusnya sebagai penerima beasiswa.

Saat David mengabarkan hal itu di grup whatsapp kelas, Sarah menanggapi dengan satu kalimat tajam: “Loh, anak beasiswa emang boleh pindah ke ekstensi?”

David tak membalas. Bukan karena tak punya jawaban, tapi karena hatinya telah mantap. Namun, tak lama setelah itu, pihak kampus mengubah kebijakan. David harus kembali ke kelas reguler. Dalam hati, David tidak tahu harus senang atau kecewa. Tapi satu hal yang ia tahu, ini berarti David akan kembali bertemu sarah.

Hari-hari kembali berjalan. David dan Sarah tak hanya aktif di kelas, tapi juga di PMII Komisariat Bambu Runcing dan DEMA . Mereka sering rapat bersama, membuat program kerja, dan Aktif di organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Di sela-sela kesibukan itu, David merasa… semakin dekat dengan Sarah. Sarah seperti matahari yang menerangi ruang gelap di hati David. David pun mulai jatuh cinta—pelan, tapi pasti.

Puncak kedekatan mereka terjadi saat studi banding ke UIN Malik Ibrahim Malang. Perjalanan panjang di bus, makan bersama, berkunjung di pantai balaikambang, semuanya menciptakan kenangan yang sempat David harapkan menjadi lembar awal sebuah kisah. Tapi harapan tinggal harapan. Saat kami tiba di Pantai Balekambang untuk menutup rangkaian acara, David menyapanya. Namun, Sarah hanya tersenyum singkat. Dingin. Kaku.

Yang lebih menyakitkan, David melihat sarah duduk berdua dengan seorang kakak tingkat. Mereka makan bersama, tertawa, dan saling mengabadikan momen. David hanya menatap dari kejauhan. Diam. Membisu. Di dadanya, perasaan aneh mulai tumbuh: cemburu.

Sepulang dari Malang, David tidak tahan lagi. Sore itu, ia mengetik pesan panjang, mengungkapkan semua perasaannya kepada Sarah melalui pesan chating di whatsapp. Tentang bagaimana sarah membuat David merasa hidup kembali. Tentang betapa penting Sarah bagi David.

Tapi pesan itu hanya dibaca Sarah.

Beberapa hari berlalu. David mencoba berdamai dengan keadaan. Namun luka itu seperti ditaburi garam ketika David melihat foto Sarah bersama Dana—teman dari kepengurusan PAC IPNU-IPPNU . Mereka tampak begitu akrab. Ketika belum selesai menenangkan diri, malam itu David melihatnya lagi. Kali ini Sarah bersama Ryan, duduk berdua di Warkop Pak Adil. David melihat dari lantai dua posko NU. Dalam diam. Menahan air mata.

Hatinya seakan remuk. Ingin marah, tapi pada siapa? Ingin bertanya, tapi untuk apa?

Puncaknya adalah saat MAPABA PMII Komisariat Bambu Runcing di Masjid At-Tin. Pagi itu, David melihat sendiri Sarah menjemput Ryan. Mereka datang bersama, mengikuti acara bersama, dan sore harinya, berfoto bersama. Ketika David mencoba menghubungi Sarah, ia sadar… Kalau nomor Wa-nya telah diblokir Sarah.

David terpuruk. Tidak lagi semangat kuliah, tidak ingin ikut organisasi, bahkan keluar rumah pun enggan. Malam itu, Fahmi membawa David ke Joglo dekat masjid At-Tin. Di sana, Bang Romy dan Bang Ipul menyambut. Tapi David hanya bisa diam. Menunduk. Menyembunyikan air mata di balik senyum palsu.

Semester empat, David kembali pindah ke kelas ekstensi. Beasiswanya telah habis. David tak lagi punya alasan untuk bertahan di kelas reguler.

Namun, kepindahan itu membawa kabar tak sedap. Ada yang menyebarkan cerita bahwa David pindah karena kalah dalam urusan cinta. Bahwa David pindah kelas ekstensi karena tidak bisa merebut hati Sarah.

Sakit. Rasanya seperti ditusuk dari belakang. Tapi David memilih diam. Diam adalah bentuk elegan dari perlawanan.

Di tengah tekanan itu, David memberanikan diri menemui Wakil Rektor III, yang juga dosennya di mata kuliah Psikologi Belajar. David bercerita dengan jujur. Tentang cintanya yang tak sampai. Tentang semangatnya yang sempat padam.

Beliau menatap David dalam, lalu berkata, “Mencintai seorang wanita itu hal wajar. Jika ditolak, itu tanda kamu harus belajar ikhlas. Buktikan kualitas dirimu. Jangan kalah oleh perasaan.”

Kalimat itu sederhana. Tapi seperti membuka tirai gelap yang menutupi mata David. Sejak hari itu, David mulai menata ulang hidupnya.

David menulis di selembar kertas:”Suatu hari nanti, ketika Aku telah sukses, aku akan mencarimu, Sarah. Bukan untuk menagih cinta, tapi untuk berterima kasih. Terima kasih karena kamu pernah mengajarkan arti mencintai, perjuangan, dan mengikhlaskan.”

David mulai bangkit. Menulis lebih banyak. Membaca lebih giat. Ikut pelatihan ini-itu. Bahkan mulai merintis buku baru. Ia tak ingin perasaannya yang gagal menjadi akhir dari segalanya. Justru dari kegagalan itu, ia belajar menjadi lebih dewasa. Lebih kuat.

Cinta bukan hanya tentang memiliki. Cinta adalah tentang menghargai kehadiran seseorang dalam perjalanan hidup kita, meskipun hanya sebentar. Sarah telah menjadi bagian penting dalam kisah hidupku. Ia datang, mengisi, lalu pergi. Tapi jejaknya tetap tertulis dalam hati, dan dalam setiap paragraf yang kutulis dengan jujur.

Kini, saat David melihat kembali perjalanan itu, ia tidak lagi berharap Sarah akan kembali. Tidak ada lagi rasa ingin memiliki. Yang ada hanyalah rasa syukur: karena pernah diberi kesempatan mengenalnya. Karena pernah diberi pelajaran berharga tentang ikhlas dan tumbuh.

Dan David tahu, kisah ini belum selesai. Tapi untuk sekarang, David hanya ingin terus melangkah. Menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri. Karena pada akhirnya, cinta sejati bukan tentang siapa yang paling ia perjuangkan, tapi tentang siapa yang membuatmu tumbuh, meski pada akhirnya harus kau lepaskan.

Exit mobile version